Pada tahun 1848 di Jerman terjadi resesi ekonomi dan permasalahan sosial yang berat. Beratnya resesi dan tekanan itu dialami oleh seorang siswa di kelas Ibu Guru Hilligonde Wolbring di Sekolah Paroki St. Lambert. Ayah anak itu tidak punya pekerjaan lagi. Hilligonde, guru berusia 21 tahun, tergerak hatinya untuk merawat dan membesarkan anak itu.
Setelah merawat anak itu, ia ingin merawat lebih banyak anak. Rencana itu disampaikannya kepada Elisabeth Kühling, sahabatnya, bahwa ia akan menggunakan uangnya yang adalah uang warisan keluarga, untuk mewujudkannya.
Kedua guru itu kemudian menemui Pastor Theodore Elting untuk menyampaikan maksudnya. Pertemuan itu membuahkan hasil, Pastor Elting menjadi mentor bagi mereka berdua. Setahun kemudian Hilligonde dan Elisabeth menampung dan merawat tujuh anak telantar di sebuah rumah kontrakan. Melihat kesungguhan dua sahabat ini, Pastor Elting menginspirasi mereka untuk sepenuhnya berkarya sebagai seorang suster.
Kedua sahabat itu setuju. Pastor Elting kemudian berkomunikasi dengan para Suster Notre Dame di Amersfoort, Belanda. Kongregasi Suster Notre Dame Amersfoort didirikan di atas dasar semangat St. Jullie Billiart, pendiri Kongregasi Suster Notre Dame de Namur, Belgia. Spiritualitas para suster terlihat dari ungkapan St. Julie yang terkenal, “Ah, qu’il est bon, le bon dieu” (Ah, betapa baiknya Tuhan yang mahabaik itu). Mereka senantiasa bersandar pada kebaikan dan penyelenggaraan Tuhan.
Pastor Elting meminta para Suster Notre Dame Amersfoort untuk membina kedua suster tersebut di Coesfeld. Pada 3 Juni 1850, tiga Suster Notre Dame Amersfoort tiba di Coesfeld untuk mendampingi Hilligonde dan Elisabeth. Pada 1 Oktober 1850, Hilligonde dan Elisabeth memulai novisiat dan sejak saat itu mereka menjadi Sr. Maria Aloysia, SND dan Sr. Maria Ignatia, SND. Hari tersebut kemudian menjadi hari bersejarah sebagai hari berdirinya Kongregasi Suster Notre Dame Coesfeld.
Kurang lebih dua puluh tahun kemudian, antara tahun 1872 sampai dengan 1875, pemerintah mengeluarkan kebijakan “Kulturkampf” yang melarang para Suster berkarya, bahkan mengeluarkan Kongregasi dari Jerman. Akhirnya, pada 1877 pemerintah menutup rumah kongregasi dan sekitar 200 suster menuju Amerika Serikat untuk mencari tempat berkarya di sana. Pada waktu itu Sr. Maria Aloysia telah berusia sekitar 50 tahun. Para suster kemudian mengajar para imigran di Ohio, Covington-Cincinnati, dan Iowa. Dari sanalah kemudian tersebar sekolah- sekolah para Suster Notre Dame di seluruh dunia.
Bernard Overberg Sr. Maria Aloysia, SND dan Sr. Maria Ignatia, SND keduanya dididik di sekolah guru di mana Pastor Bernard Overberg meletakkan dasar bagi paradigma pendidikannya. Maka cara mendidik dan visi pendidikan kedua suster tidak mungkin terlepas dari paradigma pendidikan Bernard Overberg. Menurut Overberg, setiap manusia diberi dua mata oleh Tuhan yaitu mata iman (faith) dan mata nalar (reason). Adalah tugas para guru untuk membuat kedua mata itu terbuka dan peka. Melakukan refleksi adalah metode penting untuk menajamkan mata iman siswa, pada saat bersamaan, melakukan observasi menjadi metode penting pula bagi siswa untuk mengembangkan nalar mereka.
Prinsip pendidikan Overberg itulah yang menggerakkan Hilligonde dan Elisabeth. Mereka bukan hanya “melihat” anak-anak telantar, mereka “mengobservasi” keadaan mereka. Mereka pun “merefleksikan” keadaan anak-anak yang adalah citra Allah, yaitu bahwa martabat mereka sebagai manusia tidak boleh hilang. Lalu, dengan iman, mereka mengambil tindakan berani untuk menolong lebih banyak anak, sebagai wujud kepedulian mereka.
Kepedulian seperti Hilligonda yang peduli pada anak telantar itulah yang menggerakkan setiap insan Notre Dame untuk melakukan sesuatu. Kepedulian itu bertali-temali dengan sikap menghargai setiap individu sebagai citra Allah. Rasa hormat terhadap Allah diwujudkan melalui menghormati guru, orangtua, otoritas, dan menghargai setiap siswa sebagai individu Citra Allah.
Visi Sekolah Notre Dame
Kritalisasi nilai-nilai utama hormat dan peduli itu lahir dari proses panjang Imersi Pendidikan Notre Dame. Imersi atau mencelupkan diri itu terjadi dalam serangkaian pertemuan terus menerus antara para suster, pegawai, dan pimpinan sekolah Notre Dame Jakarta sejak 2017 sampai dengan 2018. Setelah kita menghayati nilai-nilai utama itu, pertanyaannya kini adalah, apa sesungguhnya yang hendak dituju oleh Sekolah Notre Dame?
Kembali kepada tradisi pendidikan Overberg, sesungguhnya Sekolah Notre Dame ada untuk menajamkan mata nalar para siswa. Diterjemahkan sebagai berpikir kritis, mata nalar itu mampu mengobservasi lingkungan dan segala yang terjadi di dalam kehidupan. Namun, pemikir kritis yang meluapkan emosi negatif bukanlah ciri pendidikan Notre Dame, sebab baik Sr. Aloysia dan Sr. Ignatia, mereka berdua adalah pribadi bersahaja yang penuh rasa hormat dalam memperlakukan orang lain. Maka, kata yang tepat untuk merangkum sikap tersebut adalah kata “santun”. Santun di sini bermakna halus budi bahasa dan tindak-tanduknya, berdasarkan ketulusan hati. Dapat dikatakan, kesantunan merupakan salah satu perwujudan iman. Demikianlah, pada tahun 2018 Sekolah Notre Dame merumuskan keinginan untuk membawa para siswa menjadi pribadi santun dan berpikir kritis sebagai sebuah visi bersama.
Sebagai sebuah visi, santun dan berpikir kritis merupakan sebuah titik acuan yang jauh di depan sana. Sekarang, tugas kita adalah merumuskan bagaimana visi itu dicapai. Untuk itu, dibutuhkan sebuah perumusan terlebih dahulu apa yang disebut sebagai santun dan berpikir kritis itu. Seperti apa profil anak santun dan kritis? Bagaimana kita mencapai lulusan-lulusan yang demikian? Guru seperti apa yang dapat membentuk siswa yang seperti itu? Kepala Sekolah seperti apa yang mampu memimpin guru semacam itu? Dan seterusnya.
Maka, pada 5 – 6 September 2018 para pimpinan Sekolah Notre Dame bersama-sama merumuskan tujuan-tujuan jangka pendek, menengah dan panjang. Kelanjutan dari tujuan-tujuan itu adalah dirumuskannya strategi-strategi baru dalam pengelolaan Sekolah Notre Dame yang akan disosialisasikan di tahun 2019 nanti.